....tulisan berjalan dimouse...

Rabu, 16 Maret 2011

[50] Refleksi Politik 2010: Dzalimi Rakyat, Dipuji Asing

Rakyat sekadar menjadi alat kepentingan wakil rakyat dan penguasa. Mereka tak dapat apa-apa.
Pastilah hati Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono (SBY) ber-bunga-bunga saat Menteri Luar Negeri Australia Kevin Rudd dan Presi-den Korea Selatan Lee Myungbak menyanjung Indonesia di hada-pan ratusan peserta dalam acara Bali Democracy Forum (BDF) III pada 9 Desember 2010 lalu di Bali. 
“Indonesia memang sejak dulu telah menjadi negara pene-gak demokrasi yang memper-kuat hak asasi manusia (HAM),” puji Kevin Rudd, yang mendapat pelukan hangat dan saling tepuk punggung dengan SBY, sebelum mantan Perdana Menteri Austra-lia ini naik ke podium. 

Jelaslah sanjungan terse-but tidak sesuai fakta yang terjadi di tengah masyarakat. Sepanjang tahun 2010, tragedi demi tragedi terjadi yang mengindikasikan cacat dan bopengnya sistem ini. Yang paling  menonjol, Indonesia dengan demokrasinya telah me-nempatkan diri sebagai negara satelit atau subordinat kepen-tingan negara kapitalis Amerika Serikat dan sekutunya. 


Kunjungan Obama adalah simbol dari pola hubungan ter-sebut. Demikian juga perang melawan teror yang diadopsi pemerintah Indonesia adalah tu-runan dan pesanan dari perang global melawan terorismenya Amerika (global war on terrorism, GWOT) yang diperkokoh dalam perjanjian Kemitraan Kompre-hensif yang ditandatangani SBY-Obama pada 9 Nopember 2010 lalu.  Banyak kalangan menyebut kemitraan komprehensif sebagai penyerahan kedaulatan RI kepa-da Amerika.

Pelanggaran HAM

Proyek, yang oleh Amerika dan anteknya disebut sebagai perang melawan teroris itu me-nelan banyak korban di kalangan kaum Muslim. Di Indonesia saja, tercatat sejak Januari-Mei 2010, 58 ditangkap dan 13 mati ditem-bak mati. 

Berkaitan dengan itu, ang-gota Komnas HAM Saharudin Daming kepada Media Umat pa-da 29 Oktober 2010 lalu menya-takan setidaknya ada tujuh indikasi temuan bahwa pemerin-tah dalam hal ini Polri dengan Densus 88-nya telah melanggar HAM. 

Salah satunya adalah Den-sus 88 cenderung mengumbar tindak kekerasan dalam bentuk yang sangat sadis, yakni dengan mengeksekusi mati di luar prose-dur hukum (extra yudicial killing).

Dewan Pengeksploitasi Rakyat

Selain pelanggaran HAM, 2010 pun diwarnai dengan tin-dakan yang tidak demokratis lainnya, di antaranya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para politisi meletakkan demokrasi menjadi kuda tung-gangan untuk pergi ke “pasar” parlemen mentransaksikan ke-pentingan-kepentingan individu dan kelompok demi kekuasaan dan status quo. 

Maka kritikan pun datang dari berbagai pihak, termasuk dari Harits Abu Ulya. “DPR itu mendapatkan fasilitas yang wah, tetapi kinerjanya rendah!” ujar Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI tersebut.

Pasalnya, gaji setiap ang-gota DPR saat ini sangatlah besar. Belum lagi tunjangannya yang bermacam-macam dan rata-rata juga besar. Totalnya puluhan juta rupiah perbulan. Meski begitu, berbagai upaya tetap dilakukan untuk terus menumpuk keka-yaan dan fasilitas mewah para anggota DPR. 

Dengan semua fasilitas yang serba 'wah' itu, bagaimana prestasinya? Ternyata, kinerja DPR dalam kurun terakhir ini sangat buruk. Mahkamah Konsti-tusi menilai, produk legislasi DPR selama ini banyak yang tak beres karena menyimpang dari arah dan strategi Program Legislasi Nasional.

Banyak produk UU yang ujung-ujungnya juga hanya me-menuhi kepentingan individu, kelompok tertentu yang ada dalam oligarki kekuasaan serta pihak asing.

DPR pun merombak total draf RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi menjadi UU penga-turan Pornografi untuk  meme-nuhi syahwat industri hiburan yang mengumbar seks bebas dan pornografi sebagai komo-ditasnya. Begitu diterapkan, UU itu mandul sehingga tak mampu menghukum para pelaku seks bebas seperti halnya dalam kasus megaskandal Ariel-Luna-Cut Tari.

Gayus, Gayus, Gayus!

Hukum yang mandul dan bisa dibeli memunculkan feno-mena Gayus, pegawai Dirjen Pajak golongan IIIA dengan rekening miliaran rupiah. Refor-masi hukum dan birokrasi ber-jalan di tempat, bahkan mundur. 

Dengan leluasa aparat birokrasi memanfaatkan celah hukum untuk mengeruk keun-tungan pribadi. Berdalih mem-bantu perusahaan-perusahaan yang bermasalah menyelesaikan pajaknya, Gayus mengaku, an-tara lain mendapat total Rp 30 milyar, padahal faktanya lebih.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indo-nesia ICW Febri Diansyah men-duga kasus Gayus itu direkayasa sehingga tak menyeret pihak-pihak yang berkuasa. Menurut-nya, kejanggalan paling men-colok terkait desain sistematis untuk membonsaikan kasus itu adalah Gayus hanya dijerat kasus PT Surya Alam Tunggal dengan kerugian negara hanya Rp 570 juta.

Padahal, kasus utamanya adalah kepemilikan Rp 28 milyar di rekening Gayus. Polisi tidak mengusut asal muasal rekening itu dan save deposit Rp75 milyar yang dimiliki Gayus. Sudah begi-tu, Gayus dan keluarganya bisa melenggang ke Bali menonton pertandingan tenis padahal se-harusnya ia tak boleh keluar dari tahanan.

Yang lebih dahsyat lagi, perilaku mirip Gayus ini pun diduga terjadi di jajaran kepo-lisian. Majalah Tempo edisi 28 Juni – 4 Juli 2010, menyatakan ada enam nama jenderal dan beberapa perwira menengah di jajaran kepolisian yang diduga punya aliran dana mencuriga-kan. Namun belum juga sehari beredar, majalah yang bertajuk Rekening Gendut Perwira Polisi itu raib di pasaran sehingga dicetak ulang. Kasus rekening gendut pun ditutup oleh Kapolri yang baru Jenderal Timur Pra-dopo tanpa proses hukum.

Berbeda jika yang melaku-kan kesalahannya adalah rakyat kecil, hukum jadi benar-benar ditegakkan. Sebut saja Mbah Minah yang dituduh mencuri tiga buah coklat, Bashar dan Isa yang dihukum karena dituduh mencuri semangka, atau seorang pembantu rumah tangga yang dituduh mencuri semangkuk sop iga, dengan proses yang sangat cepat mereka semua mendapat-kan sanksi dan ketetapan hukum.

Derita TKW

Tragedi Sumiati, yang te-was disiksa majikannya di Timur Tengah, merupakan potret bu-ram yang membuktikan sampai saat ini pemerintah gagal mem-buat kebijakan menciptakan la-pangan pekerjaan di dalam negeri.

“Kemiskinan di Indonesia sedemikian rupa membuat siapa pun yang mengalaminya tidak tahan terus-menerus dalam kon-disi seperti itu,” ujar Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care kepada Media Umat memberikan alasan mengapa banyak perem-puan menjadi tenaga kerja wanita (TKW).
“Para TKW sesungguhnya adalah korban diterapkannya ideologi kapitalisme,” tegas Abu Ulya. Nalar kapitalisme, yang menjadikan perolehan manfaat duniawi sebagai tolok ukur keba-hagiaan, ditambah dengan kam-panye masif kesetaraan jender, menjadikan para wanita berbon-dong mencari pekerjaan.

Migrant Care pun mencatat ada sekitar 45.845  kasus yang menimpa buruh migran Indone-sia di luar negeri yang dapat dikelompokkan ke dalam 16 jenis masalah. Beberapa jenis di anta-ranya adalah: meninggal dunia (908 kasus); PHK sepihak dan tidak digaji (8080 kasus); depor-tasi dari Malaysia (22.745 kasus);  penganiyayaan (1187 kasus) dan pelecehan seksual (874 kasus).

Senada dengan Abu Ulya, Anis menyatakan hal ini dapat terjadi dengan korban sebanyak itu karena pemerintah hanya menjadikan warganya sebagai komoditas devisa sehingga mengabaikan perlindungan hu-kum terhadap buruh migran. 

Inilah yang terus terjadi dari tahun ke tahun, dan semakin lama semakin memburuk. Tapi, lagi-lagi Indonesia malah dipuji. Presiden Korea Selatan Lee Myungbak dalam pidatonya di acara BDF III tersebut juga me-ngatakan, Indonesia adalah ne-gara yang memiliki iklim demo-krasi yang sangat kuat.
Demokrasi di Indonesia, ujar Lee, juga berimbas pada peningkatan ekonomi yang sig-nifikan. Hal inilah yang seha-rusnya dijadikan contoh bagi negara-negara lain. “Indonesia menjadi contoh yang baik antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi,” lanjut Lee.
Masya Allah! [] joko prasetyo

0 komentar:

Posting Komentar

 

Menu Berita

href="#">Horizontal CSS Menus

Perjalanan Hidup

mem nnn mmm mmm

makana

gytjyjytj fgsfs ffsag