Survei ini didasari paradigma yang salah bahwa Islam dan umat Islam adalah ancaman bagi negara.
Setara Institute, sebuah lembaga swadaya ma-syarakat, bekerja sama dengan USAID, akhir November lalu mem-beberkan hasil survei mereka. Survei yang membidik seputar toleransi masyarakat perkotaan sebenarnya tidak memunculkan data-data baru.
Yang menarik justru kesim-pulan tendensius dan konyol dari survei yang berlangsung di Jabo-detabek pada 20 Oktober hingga 10 November 2010. Selain itu survey ini terjebak pada istilah-istilah yang masih kabur, debat-able, dan cenderung digunakan untuk membangun stigma nega-tif tertentu seperti istilah toleran-si, radikal, atau terorisme.
Setara menyimpulkan sikap dan pandangan keagamaan ma-syarakat Jabodetabek, berdasar-kan temuan survey ini, memperli-hatkan kecenderungan intole-ran, hanya karena para respon-den tidak suka anggota keluarga menikah dengan pemeluk aga-ma lain atau pindah ke agama lain, tidak mengakui Ahmadiyah, menolak pendirian rumah iba-dah agama lain, atau yang tidak setuju terhadap mereka yang ti-dak beragama.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto me-ngemukakan, apa yang dimak-sud toleransi dalam survei ini sangat debatable. Istilah toleransi atau intoleransi bukan merupa-kan sekadar fakta tapi mengan-dung penilaian baik dan buruk. Sikap toleransi dianggap sebagai hal yang baik, sebaliknya intole-ransi dianggap sebagai hal yang buruk.
Padahal, menurutnya, ada-lah hal yang wajar saja kalau res-ponden terutama yang Muslim bersikap seperti itu. Seorang Muslim tidak boleh toleran ter-hadap hal-hal yang berten-tangan dengan aqidah Islam dan merupakan hal yang maksiat (kemungkaran).
Ia menilai, terdapat kecen-derungan yang jelas, bahwa da-sar penilaian toleransi atau tidak dalam survei ini adalah pemi-kiran liberal (HAM). Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada agamanya disebut tidak toleran karena bertentangan de-ngan HAM.
Survei ini pun berusaha mengukur tingkat radikalitas warga Jabodetabek. Sayangnya survei ini tidak menjelaskan ka-tegori sikap radikal dan organi-sasi radikal. Padahal sudah raha-sia umum bahwa istilah radikal menjadi kata-kata politik (politi-cal words) yang cendrung multi-tafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Se-perti penggunaan istilah Islam radikal yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tuju-an, skriptualis dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (ke-beragamaan) dan julukan-julukan yang dimaksudkan un-tuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan de-ngan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan Islam radikal ke-mudian digunakan secara siste-matis bagi pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekulerisme, dan demokrasi), ingin memperjuang-kan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi, dan melakukan jihad melawan Barat.
Padahal perubahan yang mendasar (radikal) sendiri bu-kanlah hal yang selalu buruk. Dalam sejarah masyarakat Barat juga terjadi beberapa perubahan mendasar yang dianggap justru memberikan pencerahan dan awal kebangkitan masyarakat Barat. Seperti perubahan dari sistem teokrasi yang represif pada abad kegelapan menjadi demokrasi jelas merupakan pe-rubahan mendasar.
Baik buruknya perubahan yang mendasar (radikal) itu, me-nurut Ismail, tergantung atas dasar apa dan bagaimana peru-bahan mendasar itu dilakukan. Dalam hal ini Islam menawarkan perubahan dengan asas yang jelas kebaikannya yakni Islam karena berasal dari Allah SWT Dzat yang Maha Sempurna yang Arrahman arrohim (Maha Peng-asih dan Penyayang). Islam hadir di dunia untuk menjadi rahmat-an lil 'alamin yang memberikan kebaikan bagi seluruh umat manusia tanpa pandang ras, suku, bangsa, ataupun aga-manya.
Kontradiktif
Dalam beberapa hal survey yang dilakukan setara mengan-dung hal-hal yang kontradiktif dan tidak akurat. Terlihat pula bagaimana Setara memaksakan opini tertentu terhadap fakta (hasil survei).
Dalam hal organisasi Islam dan kekerasan, misalnya. FPI di-nilai sebagai organisasi keaga-maan yang paling sering melaku-kan kekerasan (61,9 persen), disusul (3,5 persen) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Nahdlatul Ulama (2,6 persen), Muhammadiyah (1,9 persen). Sejumlah 20,2 menye-but tidak ada, dan 9 persen tidak menjawab. Organisasi lainnya hanya disebut oleh 0,9 persen.
Meskipun persentasenya sangat kecil (3,5 persen) dinyata-kan HTI termasuk organisasi yang sering melakukan kekerasan. Padahal, HTI dalam prinsip per-juangannya telah sangat tegas menyatakan tidak mengguna-kan jalan kekerasan (non violan-ce) atau angkat senjata dalam perjuangannya .
Hal ini ditunjukkan dalam ribuan kegiatan yang telah dila-kukan oleh HTI seperti demon-trasi, seminar, debat terbuka, ceramah, jauh dari tindakan ke-kerasan. Yang juga sangat meng-herankan bagaimana NU dan Muhammadiyah juga masuk da-lam organisasi yang sering mela-kukan kekerasaan ?
LSM ini tampak sangat jelas ingin mengaitkan organisasi-or-ganisasi Islam tertentu (yang sering disebut radikal atau fun-damentalis) dengan kekerasan. Pertanyaan penting pertama ke-napa hanya organisasi Islam yang disurvei, bagaimana dengan or-ganisasi yang mengklaim nasio-nalis atau panca-silais, yang juga tidak lepas dari kekerasan tidak disurvei? Tenden-si seperti ini, me-nurut Ismail, pa-tut dipertanyakan.
Sebagai cata-tan kecil kurang akuratnya data Se-tara, lanjutnya, HTI sudah sejak dua ta-hun yang lalu tidak lagi bergabung ke dalam Forum Umat Islam (FUI). Karena itu mengkaitkan HTI de-ngan apa yang dilaku-kan oleh FUI tentunya tidak tepat.
Syariat Islam dan Terorisme
Dalam survei ini Setara tampak ingin menggambarkan bahwa syariat Islam merupakan ancaman bagi negara Indonesia. Survei itu menemukan 35,3 persen responden setuju agar syariat Islam dijadikan dasar penyelenggaraan ne-gara. Ini dianggap merupa-kan tantangan serius bagi para penyelenggara negara yang bertugas mengawal Pancasila dan Konstitusi RI. Selain itu, kampanye gagasan tentang khilafah sebagai sebuah alter-natif pemerintahan juga mulai menuai dukungan.
Menurut Ismail, melalui ke-simpulan tersebut Setara ber-upaya menafsirkan Pancasila dan agama (Islam) dan memprovo-kasi negara untuk mengadopsi tafsir mereka terhadap Pancasila dan Islam. Kemudian berharap negara memberangus kelompok yang tidak sejalan dengan pe-mikiran dan kepentingan mereka berdasarkan tafsir tunggal ke-lompok ini.
Jika Setara mengaku demo-kratis, kata Ismail, seharus LSM itu memberi hak kepada siapapun menafsirkan Pancasila yang me-mang merupakan pemikiran ter-buka. ”Kalau secara damai me-nyuarakan aspirasi syariat Islam tidak bisa dibenarkan, di mana letak kebebasan berpendapat yang tentu menjadi prinsip pen-ting dari Setara Institute?” jelas-nya.
Yang paling berbahaya dari kesimpulan survei ini adalah upa-ya mengaitkan sikap intoleransi dengan radikalisme, dan kemu-dian akan berujung kepada terorisme. ”Radi-kalisme keagamaan merupakan tahap lanjut dari sikap intoleran, yang berujung pada terorisme. Terorisme adalah puncak dari intoleransi. Dengan kata lain, sikap intoleran hanya mem-butuhkan satu anak tangga un-tuk meningkat menjadi radi-kal/fundamentalis. Namun demi-kian, sikap intoleran warga Jabo-detabek sesungguhnya menyim-pan potensi untuk bereskalasi ke arah yang 'lebih tinggi.' Tumbuh-nya dukungan atas formalisasi dan positivisasi syariat Islam sebagai dasar hukum nasional, boleh jadi, akan membesar de-ngan pemicu faktor eksternal lanjutan.”
Menurut Ismail, logika ini sangat berbahaya karena akan secara mudah mencap sese-orang atau kelompok sebagai teroris. “Cara berpikir seperti ini adalah konyol,” tandasnya.
LSM yang didirikan oleh Hendardi yang dulunya mendu-kung lepasnya Timor Timur dari Indonesia ini lagi-lagi menggu-nakan isu terorisme untuk me-nyerang umat Islam yang ber-pegang teguh pada agamanya.[] mj
Setara Institute, sebuah lembaga swadaya ma-syarakat, bekerja sama dengan USAID, akhir November lalu mem-beberkan hasil survei mereka. Survei yang membidik seputar toleransi masyarakat perkotaan sebenarnya tidak memunculkan data-data baru.
Yang menarik justru kesim-pulan tendensius dan konyol dari survei yang berlangsung di Jabo-detabek pada 20 Oktober hingga 10 November 2010. Selain itu survey ini terjebak pada istilah-istilah yang masih kabur, debat-able, dan cenderung digunakan untuk membangun stigma nega-tif tertentu seperti istilah toleran-si, radikal, atau terorisme.
Setara menyimpulkan sikap dan pandangan keagamaan ma-syarakat Jabodetabek, berdasar-kan temuan survey ini, memperli-hatkan kecenderungan intole-ran, hanya karena para respon-den tidak suka anggota keluarga menikah dengan pemeluk aga-ma lain atau pindah ke agama lain, tidak mengakui Ahmadiyah, menolak pendirian rumah iba-dah agama lain, atau yang tidak setuju terhadap mereka yang ti-dak beragama.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia M Ismail Yusanto me-ngemukakan, apa yang dimak-sud toleransi dalam survei ini sangat debatable. Istilah toleransi atau intoleransi bukan merupa-kan sekadar fakta tapi mengan-dung penilaian baik dan buruk. Sikap toleransi dianggap sebagai hal yang baik, sebaliknya intole-ransi dianggap sebagai hal yang buruk.
Padahal, menurutnya, ada-lah hal yang wajar saja kalau res-ponden terutama yang Muslim bersikap seperti itu. Seorang Muslim tidak boleh toleran ter-hadap hal-hal yang berten-tangan dengan aqidah Islam dan merupakan hal yang maksiat (kemungkaran).
Ia menilai, terdapat kecen-derungan yang jelas, bahwa da-sar penilaian toleransi atau tidak dalam survei ini adalah pemi-kiran liberal (HAM). Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada agamanya disebut tidak toleran karena bertentangan de-ngan HAM.
Survei ini pun berusaha mengukur tingkat radikalitas warga Jabodetabek. Sayangnya survei ini tidak menjelaskan ka-tegori sikap radikal dan organi-sasi radikal. Padahal sudah raha-sia umum bahwa istilah radikal menjadi kata-kata politik (politi-cal words) yang cendrung multi-tafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Se-perti penggunaan istilah Islam radikal yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tuju-an, skriptualis dalam menafsirkan agama, menolak pluralitas (ke-beragamaan) dan julukan-julukan yang dimaksudkan un-tuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan de-ngan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan Islam radikal ke-mudian digunakan secara siste-matis bagi pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekulerisme, dan demokrasi), ingin memperjuang-kan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi, dan melakukan jihad melawan Barat.
Padahal perubahan yang mendasar (radikal) sendiri bu-kanlah hal yang selalu buruk. Dalam sejarah masyarakat Barat juga terjadi beberapa perubahan mendasar yang dianggap justru memberikan pencerahan dan awal kebangkitan masyarakat Barat. Seperti perubahan dari sistem teokrasi yang represif pada abad kegelapan menjadi demokrasi jelas merupakan pe-rubahan mendasar.
Baik buruknya perubahan yang mendasar (radikal) itu, me-nurut Ismail, tergantung atas dasar apa dan bagaimana peru-bahan mendasar itu dilakukan. Dalam hal ini Islam menawarkan perubahan dengan asas yang jelas kebaikannya yakni Islam karena berasal dari Allah SWT Dzat yang Maha Sempurna yang Arrahman arrohim (Maha Peng-asih dan Penyayang). Islam hadir di dunia untuk menjadi rahmat-an lil 'alamin yang memberikan kebaikan bagi seluruh umat manusia tanpa pandang ras, suku, bangsa, ataupun aga-manya.
Kontradiktif
Dalam beberapa hal survey yang dilakukan setara mengan-dung hal-hal yang kontradiktif dan tidak akurat. Terlihat pula bagaimana Setara memaksakan opini tertentu terhadap fakta (hasil survei).
Dalam hal organisasi Islam dan kekerasan, misalnya. FPI di-nilai sebagai organisasi keaga-maan yang paling sering melaku-kan kekerasan (61,9 persen), disusul (3,5 persen) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Nahdlatul Ulama (2,6 persen), Muhammadiyah (1,9 persen). Sejumlah 20,2 menye-but tidak ada, dan 9 persen tidak menjawab. Organisasi lainnya hanya disebut oleh 0,9 persen.
Meskipun persentasenya sangat kecil (3,5 persen) dinyata-kan HTI termasuk organisasi yang sering melakukan kekerasan. Padahal, HTI dalam prinsip per-juangannya telah sangat tegas menyatakan tidak mengguna-kan jalan kekerasan (non violan-ce) atau angkat senjata dalam perjuangannya .
Hal ini ditunjukkan dalam ribuan kegiatan yang telah dila-kukan oleh HTI seperti demon-trasi, seminar, debat terbuka, ceramah, jauh dari tindakan ke-kerasan. Yang juga sangat meng-herankan bagaimana NU dan Muhammadiyah juga masuk da-lam organisasi yang sering mela-kukan kekerasaan ?
LSM ini tampak sangat jelas ingin mengaitkan organisasi-or-ganisasi Islam tertentu (yang sering disebut radikal atau fun-damentalis) dengan kekerasan. Pertanyaan penting pertama ke-napa hanya organisasi Islam yang disurvei, bagaimana dengan or-ganisasi yang mengklaim nasio-nalis atau panca-silais, yang juga tidak lepas dari kekerasan tidak disurvei? Tenden-si seperti ini, me-nurut Ismail, pa-tut dipertanyakan.
Sebagai cata-tan kecil kurang akuratnya data Se-tara, lanjutnya, HTI sudah sejak dua ta-hun yang lalu tidak lagi bergabung ke dalam Forum Umat Islam (FUI). Karena itu mengkaitkan HTI de-ngan apa yang dilaku-kan oleh FUI tentunya tidak tepat.
Syariat Islam dan Terorisme
Dalam survei ini Setara tampak ingin menggambarkan bahwa syariat Islam merupakan ancaman bagi negara Indonesia. Survei itu menemukan 35,3 persen responden setuju agar syariat Islam dijadikan dasar penyelenggaraan ne-gara. Ini dianggap merupa-kan tantangan serius bagi para penyelenggara negara yang bertugas mengawal Pancasila dan Konstitusi RI. Selain itu, kampanye gagasan tentang khilafah sebagai sebuah alter-natif pemerintahan juga mulai menuai dukungan.
Menurut Ismail, melalui ke-simpulan tersebut Setara ber-upaya menafsirkan Pancasila dan agama (Islam) dan memprovo-kasi negara untuk mengadopsi tafsir mereka terhadap Pancasila dan Islam. Kemudian berharap negara memberangus kelompok yang tidak sejalan dengan pe-mikiran dan kepentingan mereka berdasarkan tafsir tunggal ke-lompok ini.
Jika Setara mengaku demo-kratis, kata Ismail, seharus LSM itu memberi hak kepada siapapun menafsirkan Pancasila yang me-mang merupakan pemikiran ter-buka. ”Kalau secara damai me-nyuarakan aspirasi syariat Islam tidak bisa dibenarkan, di mana letak kebebasan berpendapat yang tentu menjadi prinsip pen-ting dari Setara Institute?” jelas-nya.
Yang paling berbahaya dari kesimpulan survei ini adalah upa-ya mengaitkan sikap intoleransi dengan radikalisme, dan kemu-dian akan berujung kepada terorisme. ”Radi-kalisme keagamaan merupakan tahap lanjut dari sikap intoleran, yang berujung pada terorisme. Terorisme adalah puncak dari intoleransi. Dengan kata lain, sikap intoleran hanya mem-butuhkan satu anak tangga un-tuk meningkat menjadi radi-kal/fundamentalis. Namun demi-kian, sikap intoleran warga Jabo-detabek sesungguhnya menyim-pan potensi untuk bereskalasi ke arah yang 'lebih tinggi.' Tumbuh-nya dukungan atas formalisasi dan positivisasi syariat Islam sebagai dasar hukum nasional, boleh jadi, akan membesar de-ngan pemicu faktor eksternal lanjutan.”
Menurut Ismail, logika ini sangat berbahaya karena akan secara mudah mencap sese-orang atau kelompok sebagai teroris. “Cara berpikir seperti ini adalah konyol,” tandasnya.
LSM yang didirikan oleh Hendardi yang dulunya mendu-kung lepasnya Timor Timur dari Indonesia ini lagi-lagi menggu-nakan isu terorisme untuk me-nyerang umat Islam yang ber-pegang teguh pada agamanya.[] mj